Selasa, 18 Desember 2012

Fardu Kifaya


Merawat Muhtadlir (Orang sekarat pati)
Apabila telah nampak tanda-tanda ajal telah tiba, maka tindakan yang sunah dilakukan oleh orang yang menunggu adalah sebagai berikut:
1. Membaringkan muhtadlir pada lambung sebelah kanan dan menghadapkannya ke arah qiblat. Jika tidak memungkinkan semisal karena tempatnya terlalu sempit atau ada semacam gangguan pada lambung kanannya, maka ia dibaringkan pada lambung sebelah kiri, dan bila masih tidak memungkinkan, maka diterlentangkan menghadap kiblat dengan memberi ganjalan di bawah kepala agar wajahnya bisa menghadap qiblat.
2. Membaca surat Yasin dengan suara agak keras, dan surat Ar Ra’du dengan suara pelan. Faedahnya adalah untuk mempermudah keluarnya ruh. Nabi saw. bersabda:
اِقْرَؤُاْ يٰس عَلَى مَوْتٰاكُمْ. (رواه أبو داود)
Bacakanlah surat yasin atas orang-orang (yang akan) mati kalian”. (HR. Abu Dawud)
Bila tidak bisa membaca keduanya, maka cukup membaca surat Yasin saja.
3. Mentalqin kalimat tahlil dengan santun, tanpa ada kesan memaksa. Nabi Muhammad saw. bersabda:
لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ اللهُ. (رواه مسلم)
“Tuntunlah orang (yang akan) mati diantara kamu dengan ucapan laailaha illallah”. (HR. Muslim)
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلٰهَ إلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ. (رواه الحاكم)
“Barangsiapa ucapan terakhirnya kalimat laailaha illallah, maka ia akan masuk surga”. (HR. Hakim)
Dalam mentalqin, pentalqin (mulaqqin ) tidak perlu menambah kata, kecuali muhtadlir (orang yang akan mati) bukan seorang mukmin, dan ada harapan akan masuk Islam. Talqin tidak perlu diulang kembali jika muhtadlir telah mampu mengucapkannya, selama ia tidak berbicara lagi. Sebab, tujuan talqin adalah agar kalimat tahlil menjadi penutup kata yang terucap dari mulutnya.
4. Memberi minum apabila melihat bahwa ia menginginkannya. Sebab dalam kondisi seperti ini, bisa saja syaitan menawarkan minuman yang akan ditukar dengan keimanannya.
5. Orang yang menunggu tidak diperbolehkan membicarakan kejelekannya, sebab malaikat akan mengamini perkataan mereka.
Sesaat Setelah Ajal Tiba
Setelah muhtadlir dipastikan meninggal, tindakan selanjutnya yang sunah untuk dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Memejamkan kedua matanya seraya membaca:
بِسْمِ اللهِ وَعَلٰى مِلَّةِ رَسُوْلِ اللهِ، اللّـٰهُمَّ اغْفِرْ لَهُ، وَارْحَمْهُ، وَارْفَعْ دَرَجَتَهُ فِي الْمَهْدِيِّينَ، وَاخْلُفْهُ فِي عَقِبِهِ فِي الْغَابِرِينَ، وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ يَا رَبَّ الْعَالَمِينَ، وَافْسَحْ لَهُ فِي قَبْرِهِ، وَنَوِّرْ لَهُ فِيهِ.
2. Mengikat rahangnya ke atas kepala dengan kain yang agak lebar supaya mulutnya tidak terbuka.
3. Melemaskan sendi-sendi tulangnya dengan melipat tangan ke siku, lutut ke paha dan paha ke perut. Setelah itu dibujurkan kembali dan jari-jari tangannya dilemaskan. Bila agak terlambat sehingga tubuhnya kaku, maka boleh menggunakan minyak atau yang lainnya untuk melemaskan sendi-sendi tulang mayit. Faedah dari pelemasan ini adalah mempermudahkan proses memandikan dan mengkafani.
4. Melepas pakaian secara perlahan, kemudian menggantinya dengan kain tipis yang dapat menutup seluruh tubuhnya, yang ujungnya diselipkan di bawah kepala dan kedua kakinya. Kecuali apabila ia sedang melaksanakan ihram, maka kepalanya harus dibiarkan terbuka.
5. Meletakkan benda seberat dua puluh dirham (20x2,75 gr = 54,300 gr) atau secukupnya di atas perutnya dengan dibujurkan dan diikat agar perutnya tidak membesar.
6. Meletakkan mayit di tempat yang agak tinggi agar tidak tersentuh kelembaban tanah yang bisa mempercepat rusaknya badan.
7. Dihadapkan ke arah qiblat sebagaimana muhtadlir.
8. Segera melakukan perawatan pada mayit, dan melaksanakan wasiatnya.
9. Membebaskan segala tanggungan hutang dan lainnya.
Tajhizul Jenazah (Merawat Mayit)
Tajhizul jenazah adalah merawat atau mengurus seseorang yang telah meninggal. Perawatan di sini berhukum fardlu kifayah, kecuali bila hanya terdapat satu orang saja, maka hukumnya fardlu ‘ain.
Hal-hal yang harus dilakukan saat merawat jenazah sebenarnya meliputi lima hal, yaitu:
1. Memandikan
2. Mengkafani
3. Menshalati
4. Membawa ke tempat pemakaman
5. Memakamkan
Namun, karena kewajiban membawa jenazah ke tempat pemakaman merupakan kelaziman dari kewajiban memakamkannya, kebanyakan ahli fiqih tidak mencantumkannya. Sehingga perawatan mayit hanya meliputi empat hal, yakni memandikan, mengkafani, menshalati dan memakamkannya.
Dari keempat hal yang diwajibkan di atas, pada taraf praktek terdapat beberapa pemilahan sebagai berikut:
1. Orang Muslim
a. Muslim yang bukan syahid
Kewajiban yang harus dilakukan adalah:
1. Memandikan.
2. Mengkafani.
3. Menshalati.
4. Memakamkan.
b. Muslim yang syahid dunia atau syahid dunia-akhirat, mayatnya haram dimandikan dan dishalati, sehingga kewajiban merawatnya hanya meliputi:
a. Menyempurnakan kafannya jika pakaian yang dipakainya tidak cukup untuk menutup seluruh tubuhnya.
b. Memakamkan.
2. Bayi yang terlahir sebelum usia 6 bulan (Siqtu)
Dalam kitab-kitab salafy dikenal tiga macam kondisi bayi, yakni:
a. Lahir dalam keadaan hidup. Perawatannya sama dengan perawatan jenazah muslim dewasa.
b. Berbentuk manusia sempurna, tapi tidak tampak tanda-tanda kehidupan. Hal-hal yang harus dilakukan sama dengan kewajiban terhadap jenazah muslim dewasa, selain menshalati.
c. Belum berbentuk manusia sempurna. Bayi yang demikian, tidak ada kewajiban apapun dalam perawatannya, akan tetapi disunahkan membungkus dan memakamkannya.
Adapun bayi yang lahir pada usia 6 bulan lebih, baik terlahir dalam keadaan hidup ataupun mati, kewajiban perawatannya sama dengan orang dewasa.
3. Orang Kafir
Dalam hal ini orang kafir dibedakan menjadi dua:
a. Kafir dzimmi (termasuk kafir muaman dan mu’ahad)
Hukum menshalati mayit kafir adalah haram, adapun hal yang harus dilakukan pada mayat kafir dzimmi adalah mengkafani dan memakamkan.
b. Kafir harbi dan Orang murtad
Pada dasarnya tidak ada kewajiban apapun atas perawatan keduanya, hanya saja diperbolehkan untuk mengkafani dan memakamkannya.
Memandikan
Seperangkat peralatan yang harus disiapkan sebelum memandikan mayit adalah daun kelor (Jawa: widara), sabun, sampo, kaos tangan, handuk, kapur barus, air bersih dan sebagainya.
Hal-hal penting yang perlu diperhatikan dalam proses memandikan mayit adalah:


a. Orang yang memandikan harus sejenis
Maksudnya bila mayitnya laki-laki yang memandikan harus laki-laki begitu pula apabila mayitnya perempuan, kecuali apabila masih ada ikatan mahrom, suami-istri, atau mayit adalah anak kecil yang belum menimbulkan syahwat. Bila tidak ditemukan orang yang boleh memandikan, maka mayit cukup ditayamumi dengan ditutup semua anggota tubuhnya selain anggota tayamum, dan yang mentayamumi harus memakai alas tangan.
Urutan orang yang lebih utama memandikan mayit laki-laki adalah ahli waris ashabah laki-laki, kerabat lai-laki yang lain, istri, orang laki-laki lain. Waris ashabah yang dimaksud adalah:
1. Ayah
2. Kakek dan seatasnya
3. Anak laki-laki
4. Cucu laki-laki dan sebawahnya
5. Saudara laki-laki kandung
6. Saudara laki-laki seayah
7. Anak dari saudara laki-laki kandung
8. Anak dari saudara laki-laki seayah
9. Saudara ayah kandung
10. Saudara ayah seayah
Bagi mayit perempuan, yang paling utama memandikannya adalah perempuan yang masih memiliki hubungan kerabat dan ikatan mahram dengannya; seperti anak perempuan, ibu dan saudara perempuan.
b. Orang yang memandikan dan yang membantunya memiliki sifat amanah, dalam artian:
1. Kemampuan dalam memandikan mayit tidak diragukan lagi.
2. Apabila ia memberikan suatu kegembiraan yang tampak dari mayit, maka beritanya dapat dipercaya. Sebaliknya, jika ia melihat hal-hal buruk dari diri mayit, maka ia mampu merahasiakannya. Nabi Muhammad saw bersabda:
أُذْكُرُوْا مَحَاسِنَ مَوْتَاكُمْ وَكُفُّوْا عَنْ مَسَاوِيهِمْ. (رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِىّ)
“Sebutkanlah kebaikan-kebaikan orang yang mati diantaramu dan jagalah kejelekan-kejelekannya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Tempat Memandikan
Prosesi memandikan dilaksanakan pada tempat yang memenuhi kriteria berikut:
1. Sepi, tertutup dan tidak ada orang yang masuk, kecuali orang yang memandikan dan orang yang membantunya.
2. Ditaburi wewangian untuk mencegah bau yang keluar dari tubuh mayit.
Etika Memandikan
1. Haram melihat aurat mayit, kecuali untuk kesempurnaan memandikan. Seperti untuk memastikan bahwa air yang disiramkan sudah merata, atau untuk menghilangkan kotoran yang bisa mencegah sampainya air pada kulit.
2. Wajib memakai alas tangan saat menyentuh aurat mayit, dan sunah memakainya ketika menyentuh selainnya.
3. Mayit dibaringkan dan diletakkan di tempat yang agak tinggi, seperti di atas dipan atau di pangku oleh tiga atau empat orang dengan posisi kepala lebih tinggi dari tubuh. Hal ini untuk mencegah mayit dari percikan air.
4. Mayit dimandikan dalam keadaan tertutup semua anggota tubuhnya. Bila tidak memungkinkan atau mengalami kesulitan, maka cukup menutup auratnya saja.
5. Disunahkan menutup wajah mayit mulai awal sampai selesai memandikan.
6. Disunahkan pula memakai air dingin yang tawar, karena lebih bisa menguatkan daya tahan tubuh mayit, kecuali jika cuaca dingin, maka boleh memakai air hangat.
7. Menggunakan tempat air yang besar, dan diletakkan agak jauh dari mayit.
Tata-cara Memandikan
1. Batas Minimal
Memandikan mayit sudah dianggap cukup apabila sudah melaksanakan hal-hal sebagai berikut:
a) Menghilangkan najis yang ada pada tubuh mayit.
b) Menyiramkan air secara merata pada anggota tubuh mayit, termasuk juga bagian farji tsayyib (kemaluan wanita yang sudah tidak perawan) yang tampak saat duduk, atau bagian dalam alat kelamin laki-laki yang belum dikhitan.
Catatan:
Bila terdapat najis yang sulit dihilangkan, semisal najis di bawah kuncup, maka menurut Imam Romli, setelah mayit tersebut dimandikan, maka langsung dikafani dan dimakamkan tanpa dishalati. Namun, menurut Ibnu Hajar, bagian yang tidak terbasuh tersebut bisa diganti dengan tayamum sedangkan najisnya berhukum ma’fu.
Adapun cara mentayamumkan mayit adalah sebagai berikut:
1) Menepukkan kedua tangan pada debu disertai dengan niat sebagai berikut:
نَوَيْتُ التَّيَمُّمَ عَنْ تَحْتِ قَلْفَةِ هٰذَا الْمَيِّتِ/ هٰذِهِ الْمَيِّتَةِ.
Atau bisa juga dengan membaca:
نَوَيْتُ التَّيَمُّمَ لاِسْتِبَاحَةِ الصَّلاَةِ عَنْ هٰذَا الْمَيِّتِ/ هٰذِهِ الْمَيِّتَةِ ِللهِ تَعَالٰى
Niat ini harus terus berlangsung (istidamah) sampai kedua telapak tangan orang tersebut mengusap wajah mayit.
2) Menepukkan kedua telapak tangan pada debu yang digunakan untuk mengusap kedua tangan mayit, tangan kiri untuk mengusap tangan kanan mayit, dan tangan kanan untuk mengusap tangan kirinya.
2. Batas Kesempurnaan
Memandikan mayit dianggap sempurna apabila melaksanakan hal-hal sebagai berikut:
a) Mendudukkan mayit dengan posisi agak condong ke belakang.
b) Pundak mayit disanggah tangan kanan, dengan meletakkan ibu jari pada tengkuk mayit, dan punggung mayit disanggah dengan lutut.
c) Perut mayit dipijat dengan tangan kiri secara perlahan, supaya kotoran yang ada pada perutnya bisa keluar.
d) Mayit diletakkan kembali ke posisi terlentang, kemudian dimiringkan ke kiri.
e) Membersihkan gigi dan kedua lubang hidung mayit, dengan jari telunjuk tangan kiri yang beralaskan kain basah yang tidak digunakan untuk membersihkan qubul dan dubur.
f) Mewudlukan mayit. Adapun rukun dan kesunahannya sama persis dengan wudlunya orang hidup. Hanya saja, saat berkumur disunahkan tidak membuka mulut mayit agar airnya tidak masuk ke dalam perut. Hal ini apabila tidak terdapat hajat untuk membukanya.
Adapun niatnya adalah:
نَوَيْتُ الْوُضُوْءَ الْمَسْنُوْنَ لِهٰذَا الْمَيِّتِ/ لِهٰذِهِ الْمَيِّتَةِ ِللهِ تَعَالٰى
g) Mengguyurkan air ke kepala dan jenggot mayit dengan memakai air yang telah dicampur daun kelor atau sampo.
h) Menyisir rambut dan jenggot mayit yang tebal secara pelan-pelan, dengan menggunakan sisir yang longgar gigirnya, agar tidak ada rambut yang rontok. Bila ada rambut atau jenggot yang rontok, maka wajib diambil dan dikubur bersamanya.
i) Mengguyur bagian depan tubuh mayit sebelah kanan, mulai leher sampai telepak kaki, dengan memakai air yang telah dicampur daun kelor atau sabun. Begitu pula bagian sebelah kirinya.
j) Mengguyur bagian belakang tubuh mayit sebelah kanan, dengan posisi agak dimiringkan, mulai tengkuk, punggung sampai telapak kaki. Begitu pula bagian sebelah kirinya.
k) Mengguyur seluruh tubuh mayit dengan menggunakan air yang jernih, untuk membersihkan sisa-sisa daun kelor, sabun, dan sampo pada tubuh mayit.
l) Mengguyur seluruh tubuh mayit dengan air yang dicampur sedikit kapur barus. Dengan catatan, saat meninggal mayit tidak dalam keadaan ihram. Saat basuhan terakhir ini, sunah membaca niat:
نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِهٰذَا الْمَيِّتِ/ هٰذِهِ الْمَيِّتَةِ ِللهِ تَعَالٰى
Atau
نَوَيْتُ الْغُسْلَ لاِسْتِبَاحَةِ الصَّلاَةِ عَلَيْهِ/ عَلَيْهَا
Mengkafani
Pada dasarnya tujuan mengkafani adalah menutup seluruh bagian tubuh mayit. Walaupun demikian para fuqaha’ memberi batasan tertentu sesuai dengan jenis kelamin mayit. Batasan-batasan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Batas Minimal
Batas minimal mengkafani mayit, baik laki-laki ataupun perempuan, adalah selembar kain yang dapat menutupi seluruh tubuh mayit.
2. Batas Kesempurnaan
a) Bagi mayit laki-laki
Bagi mayit laki-laki yang lebih utama adalah 3 lapis kain kafan dengan ukuran panjang dan lebar sama, dan boleh mengkafani dengan 5 lapis yang terdiri dari 3 lapis kain kafan ditambah surban dan baju kurung, atau 2 lapis kain kafan ditambah surban, baju kurung dan sarung.
b) Bagi mayit perempuan
Bagi mayit perempuan atau banci, kafannya adalah 5 lapis yang terdiri dari 2 lapis kain kafan ditambah kerudung, baju kurung dan sewek.
Kain kafan yang dipergunakan hendaknya berwarna putih dan diberi wewangian, bila mengkafani lebih dari ketentuan batas maka hukumnya makruh, sebab dianggap berlebihan.
Cara-cara Praktis Mengkafani Mayit
Menyiapkan 5 lembar kain berwarna putih yang terdiri dari surban atau kerudung, baju kurung, sarung atau sewek, dan 2 lembar kain untuk menutup seluruh tubuh mayit. Untuk memudahkan proses mengkafani, urutan peletakannya adalah sebagai berikut:
1. Tali.
2. Kain kafan pembungkus seluruh tubuh.
3. Baju kurung.
4. Sarung atau sewek.
5. Sorban atau kerudung.
6. Setelah kain kafan diletakkan di tempatnya, letakkan mayit yang telah selesai dimandikan dengan posisi terlentang di atasnya dalam keadaan tangan disedekapkan.
7. Letakkan kapas yang telah diberi wewangian pada anggota tubuh yang berlubang, anggota tubuh ini meliputi:
a) Mata
b) Lubang hidung
c) Telinga
d) Mulut
e) Dubur
Demikian juga pada anggota sujud, meliputi:
a) Jidat
b) Hidung
c) Kedua siku
d) Telapak tangan
e) Jari-jari telapak kaki
8. Mengikat pantat dengan kain sehelai.
9. Memakaikan baju kurung, sewek atau sarung, dan surban atau kerudung.
10. Mayit dibungkus dengan kain kafan yang menutupi seluruh tubuhnya, dengan cara melipat lapisan pertama, dimulai dari sisi kiri dilipat ke sisi kanan, kemudian sisi kanan dilipat ke kiri. Begitu pula untuk lapis kedua dan ketiga.
11. Mengikat kelebihan kain di ujung kepala dan kaki (dipocong), dan diusahakan pocongan kepala lebih panjang.
12. Setelah ujug kepala dan ujung kaki diikat, sebaiknya ditambahkan ikatan pada bagian tubuh mayit; seperti perut dan dada, agar kafan tidak mudah terbuka saat dibawa ke pemakaman.
Menshalati
Hal-hal yang berkaitan dengan menshalati mayit secara garis besar ada tiga, yakni syarat, rukun, dan hal-hal yang disunahkan di dalamnya, adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. Syarat Shalat Mayit
a) Mayit telah disucikan dari najis baik tubuh, kafan maupun tempatnya.
b) Orang yang menshalati telah memenuhi syarat sah shalat.
c) Bila mayitnya hadir, posisi mushalli harus berada di belakang mayit. Adapun aturannya adalah sebagai berikut:
1) Mayit laki-laki:
Mayit dibaringkan dengan meletakkan kepada di sebelah utara. Imam atau munfarid berdiri lurus dengan kepala mayit.
2) Mayit perempuan
Cara peletakkan mayit sama dengan mayit laki-laki, sedangkan imam atau munfarid berdiri lurus dengan pantat mayit.
d) Jarak antara mayit dan mushalli tidak melebihi 300 dziro’ atau sekitar 150 m. Hal ini jika shalat dilakukan di luar masjid.
e) Tidak ada penghalang antara keduanya; misalnya seandainya mayit berada dalam keranda, maka keranda tersebut tidak boleh dipaku.
f) Bila mayit hadir, maka orang yang menshalati juga harus hadir di tempat tersebut.
2. Rukun Shalat Mayit
a) Niat.
Apabila mayit hanya satu, niatanya adalah:
أُصَلِّيْ عَلٰى هٰذَا الْمَيِّتِ/ هٰذِهِ الْمَيِتَةِ ِللهِ تَعَالٰى
Dan jika banyak, niatnya adalah:
أُصَلِّي عَلٰى مَنْ حَضَرَ مِنْ أَمْوَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ
b) Berdiri bagi yang mampu.
c) Melakukan takbir sebanyak empat kali termasuk takbiratul ihram.
d) Membaca surat Al Fatihah setelah takbir pertama.
e) Membaca shalawat Nabi setelah takbir kedua.
Contoh bacaan sholawat:
اللّـٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى سَيِّدِنَامُحَمَّدٍ
f) Mendo’akan mayit setelah takbir ketiga.
Contoh do’a:
اللّـٰهُمَّ اغْفِرْ لَهُ، وَارْحَمْهُ، وَعَافِهِ، وَاعْفُ عَنْهُ
g) Mengucapkan salam pertama setelah takbir keempat.
Contoh bacaan salam:
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
3. Kesunahan Dalam Shalat Jenazah
a) Mengangkat kedua telapak tangan sampai sebatas bahu, lalu meletakkannya diantara dada pusar pada setiap takbir.
b) Menyempurnakan lafadh niat;
أُصَلِّيْ عَلٰى هٰذاَ الْمَيِّتِ/ هٰذِهِ الْمَيِّتَةِ فَرْضَ الْكِفَايَةِ مَأْمُوْمًا/ إِمَامًا ِللهِ تَعَالىٰ.
c) Melirihkan bacaan fatihan, shalawat dan do’a.
d) Membaca ta’awwudz sebelum membaca surat Al Fatihah.
e) Tidak membaca do’a iftitah.
f) Membaca hamdalah sebelum membaca shalawat.
g) Menyempurnakan bacaan shalawat. Adapun lafadhnya adalah:
، اللّـٰهُمَّ صَلَِّ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّّيْتَ عَلٰى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، وَبَارِكْ عَلٰى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلٰى سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ وَعَلٰى آلِ سَيِّدِنَا إِبْرَاهِيْمَ، فِي الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
h) Menyempurnakan bacaan do’a untuk si mayit
اللّـٰهُمَّ اغْفِرْ لَهُ، وَارْحَمْهُ، وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِمَاءٍ وَثَلْجٍ وبَرَدٍ، وَنَقِّهِ مِنَ الخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَاراً خَيْراً مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلاً خَيْراً مِنْ أَهْلِهِ، وَزَوْجاً خَيْراً مِنْ زَوْجِهِ، وَقِهِ فِتْنَةَ الْقَبْرِ وَعَذَابِ الناَّرِ. اللّـٰهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّناَ، وَمَيِّتِنَا، وَشَاهِدِنَا، وَغَائِبِنَا، وَصَغِيْرِنَا، وَكَبِيْرِنَا، وَذَكَرِنَا، وَأُنْثَاناَ، اللّـٰهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلٰى اْلإِسْلاَمِ، وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِِنَّا فَتَوَفَّهُ عَلٰى اْلإِيْمَانِ. اللّـٰهُمَّ هٰذَا عَبْدُكُ وَابْنُ عَبْدِكَ، خَرَجَ مِنْ رُوْحِ الدُّنْيَا وَسَعَتِهَا وَمَحْبُوْبِهَا وَأَحِبَّائِهِ فِيْهَا إِلٰى ظُلْمَةِ الْقَبْرِ وَمَا هُوَ لاَقِيَهُ، كاَنَ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلٰهَ إِلاَّ أَنْتَ، وَأَنَّ مُحَمَّداً عَبْدُكَ وَرَسُوْلُكَ وَأَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ، اللّـٰهُمَّ نَزِّل بِكَ وَأَنْتَ خَيْرُ مَنْزُوْلٍ بِهِ، وَأَصْبَحَ فَقِيْراً إِلىٰ رَحْمَتِكَ وَأَنْتَ غَنِيٌّ عَنْ عَذَابِهِ، وَقَدْ جِئْنَاكَ رَاغِبِيْنَ إِلَيْكَ شُفَعَاءَ لَهُ، اللّـٰهُمَّ إِنْ كَانَ مُحْسِناً فَزِدْ فِيْ إِحْسَانِهِ، وَإِنْ كَانَ مُسِيْئاً فَتَجَاوَزْ عَنْهُ، وَلَقِّهِ بِرَحْمَتِكَ اْلأَمَنَ مِنْ عَذَابِكَ، حَتّٰى تَبْعَثَهُ إِلٰى جَنَّتِكَ يٰا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
i) Bila mayatnya anak kecil sunah untuk menambah do’a:
اللّـٰهُمَّ اجْعَلْهُ فَرَطاً ِلأَبَوْيهِ وَسَلَفاً وَذُخْراً، وَعِظَةً وَاعْتِبَاراً وَشَفِيْعاً، وَثَقِّلْ بِهِ مَوَازِيْنَهُمَا وَأَفْرِغِ الصَّبْرَ عَلٰى قُلُوْبِهِمَا وَلاَ تَفْتِنَّهُمَا بَعْدَهُ وَلاَ تَحْرِمْهُمَا أَجْرَهُ.
j) Setelah takbir ke-empat sunah untuk membaca do’a:
اللّـٰهُمَّ لاَ تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلاَ تَفْتِنَّا بَعْدَهُ وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ.
k) Membaca do’a untuk masing-masing mukmin setelah membaca shalawat:
اللّـٰهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ.
l) Salam yang kedua sunah untuk menyempur-nakan. Redaksinya adalah:
اَلسَّلاَمُ عَليْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ.
m) Sunah dilakukan di masjid dengan memper-banyak shaf .
Shalat Ghoib
Bagi orang yang tidak dapat datang ke tempat mayit boleh melakukan shalat ghoib di tempatnya, namun dengan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Ada masyaqat (kesulitan) untuk datang ke tempat jenazah.
2. Berkewajiban menshalati mayit.
Adapun lafadh niatnya untuk mayit tunggal adalah:
أُصَلَّيْ عَلٰى مَيِّت (إِسْمِ الْمَيِّتِ) الْغَائِبِ/ مَيِّتَةِ (إِسْمِ الْمَيِّتِةِ) الْغَائِبَةِ فَرْضَ الْكِفَايَةِ مَأْمُوْمًا/ إِمَامًا ِللهِ تَعَالٰى.
Bila mayit jumlahya banyak, maka setelah menyebutkan nama-nama mayit, diperbolehkan menggunakan niat:
أُصَلِّيْ عَلٰى مَنْ ذَكَرْتُهُمْ فَرْضَ الْكِفَايَةِ مَأْمُوْمًا/ إِمَامًا ِللهِ تَعَالٰى.
Kriteria Imam Shalat Jenazah
Adapun urutan orang yang lebih utama dan berhak menjadi imam shalat jenazah adalah sebagai berikut:
1. Ayah.
2. Kakek dan seatasnya.
3. Anak laki-laki.
4. Cucu laki-laki dan sebawahnya.
5. Saudara laki-laki kandung.
6. Saudara laki-laki seayah.
7. Anak dari saudara laki-laki kandung.
8. Anak dari saudara laki-laki seayah.
9. Saudara ayah kandung.
10. Saudara ayah seayah.
11. Orang laki-laki yang memiliki hubungan kerabat.
Teknis Pelaksanaan
1. Takbiratul ihram bersamaan dengan niat shalat.
2. Membaca ta’awwudz dan surat Al Fatihah dengan suara pelan.
3. Takbir kedua.
4. Membaca hamdalah dan shalawat secara sempurna.
5. Takbir ketiga.
6. Membaca do’a secara sempurna.
7. Takbir keempat.
8. Membaca do’a.
9. Membaca salam dengan sempurna.
Proses Pemberangkatan Jenazah

Pelepasan Mayit

Setelah selesai shalat, keranda mayit diangkat, setelah itu salah satu wakil dari keluarga memberikan kata sambutan pelepasan mayit, yang isinya meliputi:
a) Permintaan maaf kepada para hadirin dan teman keseharian atas kesalahan dan kekhilafan yang pernah dilakukan mayit.
b) Pemberitahuan tentang pengalihan urusan hutang piutang kepada ahli waris.
c) Penyaksian atas baik dan buruknya mayit.
Sambutan-sambutan di atas hendaknya tidak terlalu panjang, sebab sunah sesegara mungkin membawa mayit ke pemakaman.
Cara Mengantar Jenazah
Pada dasarnya dalam mengusung mayit diperbolehkan dengan berbagai cara, asalkan tidak ada kesan meremehkan mayit. Namun, sunah untuk meletakkan mayit di keranda, dengan diusung oleh tiga atau empat orang laki-laki. Dalam pengusungan ini, posisi kepala mayit berada di depan.
Etika Pengiring Jazanah
1. Para penggiring jenazah hendaknya berada di depan dan di dekat mayit.
2. Makruh mengeraskan suara, kecuali bacaan Al Qur’an, dzikir atau shalawat Nabi.
3. Berjalan kaki lebih utama daripada berkendaraan, bahkan hukumnya bila tidak ada udzur.
4. Makruh mengiring mayit bagi orang perempuan.
5. Bertafakkur tentang kematian dan memperbanyak dzikir.
6. Bagi orang yang melihat mayit sunah untuk membaca:
سُبْحَانَ الَّذِيْ لاَ يَمُوْتُ أَبَدًا
Atau berdo’a:
اللهُ أَكْبَرُ، صَدَقَ اللهُ وَرَسُولُهُ، هٰذَا مَا وَعَدَ اللهُ وَرَسُولُهُ، اللّـٰهُمَّ زِدْنَا إِيْمَاناً وَتَسْلِيماً؛ وَارْفَعْ دَرَجَتَهُ فِي الْمَهْدِيِّيْنَ وَاخْلُفْهُ فِي عَقِبِهِ فِي الْغَابِرِينَ وَاغْفِرْ لَنَا وَلَهُ إِلٰى يَوْمِ الدِّيْنِ ، اللّـٰهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِحَقِّ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ، وَآلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّد، أَنْ لاَ تُعَذِّبَ هٰذَا الْمَيِّتَ (3×). اللّـٰهُمَّ اغْفِرْ لَهُ، وَارْحَمْهُ، وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِمَاءٍ وَثَلْجٍ وبَرَدٍ، وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَاراً خَيْراً مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلاً خَيْراً مِنْ أَهْلِهِ، وَزَوْجاً خَيْراً مِنْ زَوْجِهِ وَقِهِ فِتْنَةَ الْقَبْرِ وَعَذَابِ النَّارِ
7. Bagi orang yang melihat iring-iringan mayit hendaknya berdiri dan ikut mengiring.
Pemakaman Mayit
1. Persiapan
Sebelum mayit diberangkatkan ke pemakaman, liang kubur, semua peralatan pemakaman harus sudah siap.
2. Liang Kubur
a) Bentuk
Dalam kitab kuning dikenal dua jenis liang kubur:
1) Liang cempuri
Yakni liang kubur yang bagian tengahnya digali sekiranya cukup untuk menaruh mayit. Model ini untuk tanah yang gembur.
2) Liang lahat
Yakni liang kubur yang sisi sebelah baratnya digali sekiranya cukup untuk menaruh mayit. Model ini untuk tanah yang keras. Pada dasarnya liang ini lebih utama daripada liang cempuri.
b) Ukuran
1) Batas minimal
Batas minimal liang kubur adalah membuat lubang yang dapat mencegah keluarnya bau mayit serta dapat mencegah dari binatang buas.
2) Batas kesempurnaan
Batas kesempurnaan liang kubur adalah membuat liang dengan ukuran sebagai berikut:
a) Panjang
Sepanjang mayit ditambah tempat yang cukup untuk orang yang menaruh mayit.
b) Lebar
Seukuran tubuh mayit ditambah tempat yang sekiranya cukup untuk orang yang menaruh mayit.
c) Dalam
Setinggi postur tubuh manusia ditambah satu hasta.
Prosesi Pemakaman
Dalam praktek pemakaman mayit dalam dapat dilakukan prosesi sebagai berikut:
1. Sesampainya mayit di tempat pemakaman, keranda diletakkan pada arah posisi peletakkan kaki mayit.
2. Jenazah dikeluarkan dari keranda, dimulai dari kepalanya, lalu diangkat dengan posisi agak miring dan wajah jenazah menghadap qiblat secara pelan-pelan.
3. Jenazah diserahkan pada orang yang yang sudah bersiap-siap dalam liang untuk menguburnya. Hal ini dilakukan oleh tiga orang, orang pertama menerima bagian kepala, orang kedua bagian lambung, dan orang ketiga bagian kaki.
4. Bagi orang yang menerima mayit disunahkan membaca do’a:
اللّـٰهُمَّ افْتَحْ أَبْوَابَ السَّمَاءِ لِرُوْحِهِ، وَأَكْرِمْ مَنْزِلَهُ، وَوَسِّعْ لَهُ فِيْ قَبْرِهِ.
5. Dan bagi orang yang meletakkan disunahkan membaca:
بِاسْمِ اللهِ وَعَلٰى مِلَّةِ رَسُوْلِ اللهِ.
6. Kemudian mayit diletakkan di liang kubur dan dihadapkan ke arah qiblat dengan posisi miring pada lambung sebelah kanan.
7. Menyandarkan wajah dan kaki pada dinding bagian dalam liang.
8. Memberi bantalan tanah liat pada bagian kepala.
9. Mengganjal bagian punggungnya dengan gumpalan tanah atau batu bata agar mayit tetap dalam posisi miring menghadap kiblat.
10. Membuka simpul, terutama bagian atas, kemudian meletakkan pipinya pada bantalan tanah liat yang telah ada.
11. Salah satu pengiring mengumandangkan adzan dan iqamah di dalam liang kubur. Adapun lafadznya sama dengan lafadz adzan dan iqamah dalam shalat.
12. Bagian atas mayit ditutup dengan papan atau bambu sampai rapat, kemudian liang kubur ditimbun dengan tanah.
13. Membuat gundukan setinggi satu jengkal dan memasang dua batu nisan, satu lurus dengan kepala dan satunya lagi lurus dengan kaki mayit.
14. Menaburkan bunga, memberi minyak wangi dan memercikan air di atas makam.
15. Selanjutnya, salah satu pihak keluarga atau orang ahli ibadah melakukan prosesi talqin mayit. Kesunahan mentalqin ini hanya berlaku bagi mayit dewasa dan tidak gila.
16. Mulaqin duduk dengan posisi menghadap muka kepala mayit, sedangkan para hadirin dalam posisi berdiri.
17. Mulaqin mulai membaca bacaan talqin sebanyak tiga kali. Adapun contoh bacaan talqin adalah:
يَافُلاَنُ ابْنُ فُلاَنَةَ، يَافُلاَنُ ابْنُ فُلاَنَةَ، يَافُلاَنُ ابْنُ فُلاَنَةَ، اُذْكُرْ مَاخَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْياَ: شَهَادَةُ أَنْ لاَإِلٰـهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَأَنَّكَ رَضِيْتَ بِاللهِ رَبًّا، وَبِاْلإِسْلاَمِ دِيْنًا، وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا، وَبِالْقُرْأَنِ إِمَامًا.
18. Setelah liang kubur ditutup, sebelum ditimbun dengan tanah, para pengiring disunahkan mengambil tiga genggam tanah bekas galian kemudian menaburkannya ke dalam liang kubur.
a) Pada taburan pertama membaca:
مِنْهَا خَلَقْنَاكُمْ، اللّـٰهُمَّ لَقِّنْهُ عِنْدَ الْمَسْأَلَةِ حَجَّتَهُ.
b) Do'a pada taburan kedua:
وَفِيْهَا نُعِيْدُكُمْ، اللّـٰهُمَّ افْتَحْ أَبْوَابَ السَّماَءِ لِرُوْحِهِ
c) Do'a pada taburan ketiga:
وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً أُخْرٰى، اللّـٰهُمَّ جاَفِ اْلأَرْضَ عَنْ جَنْبَيْهِ.
19. Setelah selesai talqin pihak keluarga dan para hadirin tinggal sebentar untuk mendo’akan mayit. Adapun do’anya adalah:
اللّـٰهُمَّ اغْفِرْ لَهُ، وَارْحَمْهُ، اللّـٰهُمَّ ثَبِّتْهُ عِنْدَ السُؤَلِ
20. Setelah selesai berdo’a secukupnya, para hadirin pulang.
Mati Syahid
Disebut syahid, sebab Allah dan RasulNya telah bersaksi bahwa orang tersebut nantinya akan masuk surga, atau sebab pada waktu akan meninggal dia telah melihat surga. Adapun pembagiannya sebagai berikut:
1. Syahid dunia-akhirat, yakni orang yang meninggal dalam peperangan dengan niat untuk menegakkan agama Allah swt.
2. Syahid dunia, yakni orang yang mati dalam peperangan dengan niat mencari kehidupan dunia.
3. Syahid akhirat, yakni orang yang meninggal sebab semisal mencari ilmu, kebakaran, kebanjiran dan sebagainya.
Bagi syahid yang masuk kriteria pertama, dan kedua, tidak diperbolehkan untuk dimandikan dan dishalati. Sebagaimana keterangan yang telah lalu.
والله أعلم بالصواب


Bagi yang browsernya tidak support font traditional arabic, dapat melihat disini untuk lebih jelasnya.

Pengurusan Jenazah







i

1 Votes
Quantcast

A. KEUTAMAAN MENGURUS JENAZAH
Rasulallah Shallallaahu ’Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa memandikan (jenazah) seorang muslim seraya menyembunyikan (aib)nya dengan baik, maka Allah akan memberikan ampunan empat puluh kali kepadanya. Barangsiapa membuatkan lubang untuknya lalu menutupinya, maka akan diberlakukannya pahala seperti pahala orang yang memberikan tempat tinggal kepadanya sampai hari kiamat kelak. Barangsiapa mengkafaninya, niscaya Allah akan memakaikannya sundus (pakaian dari kain sutera tipis) dan istabraq (pakaian sutera tebal) Surga di hari kiamat kelak.”
(HR. Al-Hakim dan Al-Baihaqi. Al-Hakim berkata; Shahih dengan syarat Muslim. Dan disepakati oleh Adz-Dzahabi)
B. PIHAK YANG BERHAK MENGURUSI JENAZAH
Hendaknya yang mengurusi jenazah adalah orang yang lebih mengetahui sunnahnya dengan tingkatan sebagai berikut;
  1. Jenazah laki-laki diurusi oleh orang yang telah ditunjuk oleh si mayit sendiri sebelum wafatnya (berdasarkan wasiatnya). Kemudian Bapaknya, lalu anak laki-lakinya, kemudian keluarga terdekat si mayit.
  2. Jenazah wanita diurusi oleh orang yang telah ditunjuk oleh si mayit sendiri sebelum wafatnya (berdasarkan wasiatnya). Kemudian Ibunya, kemudian anak wanitanya, kemudian keluarga terdekat si mayit.
  3. Suami diperbolehkan mengurusi jenazah istrinya, begitu pula sebaliknya.
  4. Adapun jenazah anak yang belum baligh dapat diurusi oleh kaum laki-laki atau perempuan karena tidak ada batasan aurat bagi mereka.
  5. Apabila seorang lelaki wafat di antara kaum wanita (tanpa ada seorang lelaki muslim pun bersama mereka dan tanpa ada istrinya atau ibunya) demikian pula sebaliknya maka cukup ditayamumkan saja.
  6. Seorang muslim tidak diperbolehkan mengurusi jenazah orang kafir  (QS. At-Taubah ; 84)
C. ALAT DAN BAHAN YANG DIPERLUKAN
  1. Gunting, untuk menggunting pakaian si mayit sebelum dimandikan.
  2. Sarung tangan bagi petugas yang memandikan mayit.
  3. Sabut penggosok (spons).
  4. Alat penumbuk dan cawan besar untuk menghaluskan kapur barus.
  5. Perlak plastik atau sejenisnya.
  6. Sidr (perasan daun bidara), bila sulit didapatkan boleh menggantinya dengan shampoo dan sabun.
  7. Kapur barus.
  8. Masker bagi petugas.
  9. Kapas.
10. Air.
11. Minyak wangi kesturi.
12. Plester perekat.
13. Gunting kuku dan rambut.
14. Handuk atau sejenisnya
15. Sisir
16. Kain kafan; dua lembar berwarna putih bersih dan satu kain putih bergaris (hibarah) atau tiga lembar seluruhnya berwarna putih bersih bagi laki-laki.
D. TATA CARA MEMANDIKAN JENAZAH
  1. Menutup aurat si mayit ketika memandikannya. Melepas pakaiannya (dengan menggunakan gunting) serta menutupinya dari pandangan orang banyak.
  2. Hendaknya melemaskan persendian si mayit, memotong kumisnya, kukunya dan bulu ketiaknya jika kebetulan panjang. Sedangkan bulu kemaluan tidak boleh dipotong karena termasuk aurat yang vital.
  3. Mengangkat kepalanya sampai seolah-olah dalam posisi duduk, lalu mengurut perutnya dengan perlahan untuk mengeluarkan kotoran yang masih tersisa dalam perutnya. Hendaklah memperbanyak siraman air untuk membersihkan kotoran yang keluar.
  4. Petugas menggunakan sarung tangan untuk membersihkan jasad si mayit (membersihkan qubul dan dubur si mayit) tanpa harus melihat atau menyentuh langsung auratnya. Dianjurkan air yang dipakai adalah air yang sejuk, kecuali bila dibutuhkan air panas untuk menghilangkan kotoran yang melekat di jasad si mayit. Namun jangan mengerik atau menggosok mayit dengan keras.
  5. Kemudian mengucapkan basmalah dan mewudhu’kan si mayit sebagaimana wudhu untuk shalat. Namun tidak perlu memasukkan air ke dalam hidung dan mulut si mayit, tapi cukup dengan memasukkan jari yang telah dibungkus dengan kain yang dibasahi diantara bibir si mayit lalu menggosok giginya dan kedua lubang hidung sampai bersih.
  6. Setelah mewudhukan dianjurkan untuk mencuci rambut dan janggutnya dengan busa perasan daun bidara. Bagi jenazah wanita, bila rambutnya dikepang diurai terlebih dahulu baru dicucikan rambutnya.
  7. Setelah itu membasuh anggota badan sebelah kanan si mayit dari bagian depan dilanjutkan ke bagian belakang dengan cara memiringkan si mayit ke sebelah kiri petugas. Demikian pula anggota badan sebelah kiri. Jumlah siraman dengan bilangan yang ganjil sampai dianggap bersih. Hendaknya memandikan dengan menggunakan perasan daun bidara setiap kali siraman atau sabun.
  8. Setiap kali membasuh bagian perut si mayit, keluar kotoran dari perutnya, hendaknya langsung dibersihkan.
  9. Dianjurkan siraman terakhir dengan menggunakan kapur barus.
10.  Setelah selesai memandikannya hendaknya mengeringkan dengan handuk atau sejenisnya.
11.  Dianjurkan menyisir rambut si mayit. Adapun jenzah wanita, rambutnya dikepang tiga dan diletakkan ke belakang punggungnya.
12.  Apabila masih keluar kotoran setelah dimandikan, hendaklah menutup kemaluannya dengan kapas, kemudian mencuci kembali anggota yang terkena najis lalu si mayit diwudhukan kembali.
13.  Janin yang gugur, bila telah mencapai empat bulan jenazahnya hendaklah dimandikan, dikafani, dishalatkan dan diberi nama.
14.  Bila tidak terdapat air, si mayit cukup ditayamumkan saja.
E. TATA CARA MENGKAFANI JENAZAH
  1. Tiga kain kafan dibentangkan dan disusun tiga lapis. Kain kafan yang langsung bersentuhan dengan jenazah terlebih dahulu diberikan wewangian. Kemudian meletakkan si mayit di atas kain kafan dalam posisi terlentang. Lalu letakkan kapas yang telah dibubuhi wewangian pada selangkangan si mayit atau pada lipatan tubuh yang lain.
  2. Hendaklah menyediakan kain yang telah dibubuhi kapas untuk menutup aurat si mayit dengan melilitkannya (seperti melilit popok bayi).
  3. Hendaklah membubuhi wewangian pada lekuk-lekuk wajah si mayit seperti dua mata, lubang hidung, bibir, kedua telinga dan ketujuh anggota sujudnya. Dan dibolehkan juga membubuhi seluruh anggota badannya dengan wewangian.
  4. Lembaran pertama kain kafan dilipat dari sebelah kanan, baru yang sebelah kiri sambil mengambil handuk penutup auratnya. Menyusul lembaran kedua dan ketiga. Wewangian juga dibubuhkan di sela-sela ketiga kain kafan tersebut dan bagian kepala si mayit.
  5. lalu gulunglah sisa kain kafan pada ujung kepala dan kakinya agar tidak lepas ikatannya. Kemudian lipat ke arah kaki dan kepalanya. Jumlah sisa kain kafan sebelah atas lebih banyak daripada sisa kain kafan di bagian bawah. Lalu ikatlah dengan tujuh utas tali (tali diikatkan di; atas kepala, leher, dada, perut, paha, betis, dan setelah kaki). Dibolehkan juga pengikatan kurang dari tujuh utas tali, sebab maksud pengikatan agar kain kafan tersebut tidak lepas (terbuka).
  6. Jenazah wanita dikafani dengan lima helai kain; kain sarung untuk menutupi bagian bawahnya, baju kurung (yang terbuka sisi kanan dan kirinya), kerudung untuk menutupi kepalanya, serta dua helai kain kafan yang digunakan untuk menutupi sekujur tubuhnya.
F. KETENTUAN MANDI BAGI YANG MEMANDIKAN JENAZAH dan BERWUDHU BAGI YANG MENANDU KERANDA JENAZAH
Disunnahkan bagi orang yang telah memandikan jenazah untuk mandi. Rasulallah Shallallaahu ’Alaihi Wa Sallam bersabda;
”Barangsiapa telah selesai memandikan jenazah, hendaklah ia mandi; dan barangsiapa yang mengangkatnya hendaklah ia berwudhu.”
(HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dari Abu Hurairah RA. At-tirmidzi menilainya sebagai hadits hasan).
G. MARAJI
  1. Al-Albani, Syaikh Muhammad Nashiruddin, Hukum dan Tata Cara Mengurus Jenazah Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah, Bogor: Pustaka Imam As-Syafi’i, 2005.
  2. Al-Maktab At-Ta’awuni Li Ad-da’wah Al-Irsyad wa Tau’iyah Al-Jaliat Fi Sulthanah, Cara Mudah Mengurus Jenazah, Jakarta: Pustaka At-Tazkia, April 2006.
  3. Al-Jibrin, Abdullah bin Abdurrahman, Tuntutan Shalat dan Mengurus Jenazah, Solo: Penerbit At-Tibyan, 2002.
  4. As-Sayyid Salim, Abu Malik Kamal, Shahih Fiqih Sunnah, Jakarta: Pustaka At-Tazkia, 2006.
  5. Al-Asqalani, Imam Ibnu Hajar, Fathul Baari, Jakarta: Pustaka Azzam, Nopember 2006.

Tata Cara Mengurus Jenazah Sesuai Sunnah

04 Mei, 2012

Risalah Islam bersifat paripurna, menyentuh seluruh aspek kehidupan manusia dari sejak ia belum menghirup udara dunia, sampai akhirnya kubur menjadi huniannya. Ini juga menjadi pesona khas, bagi agama yang diemban Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam . Sekali lagi, sebagian keindahan Islam akan terbukti, dengan Anda menyimak sajian rubrik fiqih kali ini. (Redaksi)
 A. HAL-HAL YANG HARUS DIKERJAKAN OLEH ORANG YANG SAKIT

1. Rela terhadap qadha dan qadar Allah, sabar dan berprasangka baik kepadaNya.
 2. Diperbolehkan untuk berobat dengan sesuatu yang mubah, dan tidak boleh berobat dengan sesuatu yang haram, atau berobat dengan sesuatu yang merusak aqidahnya; misalnya, seperti datang kepada dukun, tukang sihir atau ke tempat lainnya.

Dari Abu Hurairah,dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda:
مَا أَنْزَلَ اللهُ دَاءً إِلاَّ أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً".أخرجه البخاري
Allah tidak menurunkan suatu penyakit, kecuali Allah turunkan juga obatnya. 
[HR Al Bukhari].

Dan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ خَلَقَ الدَّاءَ وَالدَّوَاءَ فَتَدَاوَوْا وَلاَ تَدَاوَوْا بِحَرَامٍ.
Sesungguhnya Allah menciptakan penyakit dan obatnya, maka berobatlah kalian, dan jangan berobat dengan sesuatu yang haram. 
[Dikeluarkan Al Haitsami di dalam Majma'az Zawa'id].

3. Apabila bertambah parah sakitnya, tidak boleh baginya untuk mengharapkan kematian. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَا يَتَمَنَّى أَحَدُكُمْ الْمَوْتَ وَلَا يَدْعُ بِهِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَهُ إِنَّهُ إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ انْقَطَعَ عَمَلُهُ وَإِنَّهُ لَا يَزِيدُ الْمُؤْمِنَ عُمْرُهُ إِلَّا خَيْرًا
Janganlah salah seorang di antara kalian mengharapkan kematian, dan janganlah meminta kematian sebelum datang waktunya. Apabila seorang di antara kalian meninggal, maka terputus amalnya. Dan umur seorang mukmin tidak akan menambah baginya kecuali kebaikan.
[HR Muslim].

4. Hendaknya seorang muslim berada di antara khauf (rasa takut) dan raja' (berharap).
 Diriwayatkan dari Anas Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendatangi seorang pemuda yang dalam keadaan sakaratul maut; kemudian Beliau bertanya: “Bagaimana engkau menjumpai dirimu?” Dia menjawab: “Wahai, Rasulullah! Demi Allah, aku hanya berharap kepada Allah, dan aku takut akan dosa-dosaku.” Kemudian Rasulullah bersabda:

لَا يَجْتَمِعَانِ فِي قَلْبِ عَبْدٍ فِي مِثْلِ هَذَا الْمَوْطِنِ إِلَّا أَعْطَاهُ اللَّهُ مَا يَرْجُو وَآمَنَهُ مِمَّا يَخَافُ
Tidaklah berkumpul dua hal ini ( yaitu khauf dan raja') di dalam hati seseorang, dalam kondisi seperti ini, kecuali pasti Allah akan berikan dari harapannya dan Allah berikan rasa aman dari ketakutannya. 
[HR At Tirmidzi].

5. Wajib baginya untuk mengembalikan hak dan harta titipan orang lain, atau dia juga meminta haknya dari orang lain. Kalau tidak memungkinkan, hendaknya memberikan wasiat untuk dilunasi hutangnya, atau dibayarkan kafarah atau zakatnya.

6. Hendaknya bersegera untuk berwasiat sebelum datang tanda-tanda kematian.
 Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَا حَقُّ امْرِئٍ مُسْلِمٍ لَهُ شَيْءٌ يُوصِي فِيهِ يَبِيتُ لَيْلَتَيْنِ إِلَّا وَوَصِيَّتُهُ مَكْتُوبَةٌ عِنْدَهُ

Tidak sepatutnya bagi seorang muslim yang masih memiliki sesuatu yang akan diwasiatkan untuk tidur dua malam kecuali wasiatnya sudah tertulis di dekatnya 
[HR Al Bukhari].

Apabila hendak berwasiat dari hartanya, maka tidak boleh berwasiat lebih banyak dari sepertiga hartanya. Dan tidak boleh diwasiatkan kepada ahli waris. Tidak diperbolehkan untuk merugikan orang lain dengan wasiatnya, dengan tujuan untuk menghalangi bagian dari salah satu ahli waris, atau melebihkan bagian seorang ahli waris daripada yang lain.

B. HAL-HAL YANG DIKERJAKAN KETIKA SESEORANG SAKARATUL MAUT


  1. Mentalqin (menuntun) dengan bacaan Laa ilaaha illallah.
  2.  Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله
Tuntunlah orang yang akan mati di antara kalian dengan bacaan Laa ilaha illallah
[HR Muslim].

Dari Muadz bin Jabal Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
Barangsiapa yang akhir perkataannya Laa ilaha illallah, dia akan masuk surga
[HR Al Bukhari].

Apabila berbicara dengan ucapan yang lain setelah ditalqin, maka diulangi kembali, supaya akhir dari ucapannya di dunia kalimat tauhid.

. Berdo'a untuknya dan tidak berkata kecuali yang baik.
 Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا حَضَرْتُمْ الْمَرِيضَ أَوْ الْمَيِّتَ فَقُولُوا خَيْرًا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ يُؤَمِّنُونَ عَلَى مَا تَقُولُونَ
Apabila kalian mendatangi orang sakit atau orang mati, maka janganlah berkata kecuali yang baik, karena sesungguhnya malaikat mengamini yang kalian ucapkan. 
[HR Muslim, Al Baihaqi dan yang lainnya].

Tanda-Tanda Kematian:
 Para ulama menyebutkan beberapa tanda, bahwa seseorang sudah bisa dikatakan mati. Di antaranya:
  • Terhentinya nafas.
  • Kedua pelipisnya melemas.
  • Hidung menjadi lunak.
  • Kulit wajahnya menjadi lebih panjang.
  • Terpisahnya kedua telapak tangan dari kedua lengannya.
  • Kedua kakinya melemas dan terpisah dari kedua mata kaki.
  • Tubuh menjadi dingin.
  • Tanda yang sangat jelas, yaitu adanya perubahan bau pada tubuhnya. [Lihat Fiqhun Nawazil, Syaikh Bakr Abu Zaid (1/227), Asy Syarhul Mumti' (5/331)].

Tanda-tanda di atas diketahui dengan tanpa menggunakan alat, dan ada tanda lain yang bisa diketahui dengan alat-alat kedokteran.

3. Tidak mengapa bagi seorang muslim untuk mendatangi seorang kafir yang dalam keadaan sakaratul maut untuk menawarkan kepadanya agama Islam.
 Dari Anas Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: Dahulu ada seorang budak Yahudi yang melayani Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika dia sakit, maka Rasulullah menjenguknya. Beliau duduk di dekat kepalanya. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَسْلِمْ فَنَظَرَ إِلَى أَبِيهِ وَهُوَ عِنْدَهُ فَقَالَ لَهُ أَطِعْ أَبَا الْقَاسِمِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَسْلَمَ فَخَرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَقُولُ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْقَذَهُ مِنْ النَّارِ
Masuklah ke dalam agama Islam, maka dia melihat ke arah bapaknya yang berada di sampingnya. Bapaknya berkata: “Taatilah Abul Qasim (ya'ni Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam).” Maka dia masuk Islam, kemudian Rasulullah keluar, dan Beliau berkata: “Segala puji bagi Allah Yang telah menyelamatkan dia dari neraka." 
[HR Al Bukhari].

C. HAL-HAL YANG DIKERJAKAN SETELAH SESEORANG MENINGGAL DUNIA


  1. Disunnahkan untuk menutup kedua matanya.
  2.  Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menutup kedua mata Abu Salamah Radhiyallahu 'anhu ketika dia meninggal dunia. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الرُّوحَ إِذَا قُبِضَ تَبِعَهُ الْبَصَرُ فَلاَ تَقُوْلُوْا إِلاَّ خَيْرًا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ يُؤَمِّنُونَ عَلَى مَا تَقُولُونَ

Sesungguhnya ruh apabila telah dicabut, akan diikuti oleh pandangan mata, maka janganlah kalian berkata kecuali dengan perkataan yang baik, karena malaikat akan mengamini dari apa yang kalian ucapkan. 
[HR Muslim].

2. Disunnahkan untuk menutup seluruh tubuhnya, setelah dilepaskan dari pakaiannya yang semula. Hal ini supaya tidak terbuka auratnya. Dari Aisyah Radhiyallahu a'nha, beliau berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ تُوُفِّيَ سُجِّيَ بِبُرْدٍ حِبَرَةٍ
Dahulu ketika Rasulullah meninggal dunia ditutup tubuhnya dengan burdah habirah (pakaian selimut yang bergaris). 
[Muttafaqun 'alaih].

Kecuali bagi orang yang mati dalam keadaan ihram,maka tidak ditutup kepala dan wajahnya.

3. Bersegera untuk mengurus jenazahnya.
 Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَنْبَغِي لِجِيفَةِ مُسْلِمٍ أَنْ تُحْبَسَ بَيْنَ ظَهْرَانَيْ أَهْلِهِ
Tidak pantas bagi mayat seorang muslim untuk ditahan di antara keluarganya. 
[HR Abu Dawud].

Karena hal ini akan mencegah mayat tersebut dari adanya perubahan di dalam tubuhnya. Imam Ahmad rahimahullah berkata: "Kehormatan seorang muslim adalah untuk disegerakan jenazahnya." Dan tidak mengapa untuk menunggu diantara kerabatnya yang dekat apabila tidak dikhawatirkan akan terjadi perubahan dari tubuh mayit

Hal ini dikecualikan apabila seseorang mati mendadak, maka diharuskan menunggu terlebih dahulu, karena ada kemungkinan dia hanya pingsan (mati suri). Terlebih pada zaman dahulu, ketika ilmu kedokteran belum maju seperti sekarang. Pengecualian ini, sebagaimana yang disebutkan oleh para ulama. [Lihat Asy Syarhul Mumti' (5/330), Al Mughni (3/367)].

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: "Jika ada orang yang bertanya, bagaimana kita menjawab dari apa yang dikerjakan oleh para sahabat, mereka mengubur Nabi pada hari Rabu, padahal Beliau meninggal pada hari Senin? Maka jawabnya sebagai berikut: Hal ini disebabkan untuk menunjuk Khalifah setelah Beliau. Karena Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai pemimpin yang pertama telah meninggal dunia, maka kita tidak mengubur Beliau hingga ada Khalifah sesudahnya. Hal ini yang mendorong mereka untuk menentukan Khalifah. Dan ketika Abu Bakar dibai’at, mereka bersegera mengurus dan mengubur jenazah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu, jika seorang Khalifah (Pemimpin) meninggal dunia dan belum ditunjuk orang yang menggantikannya, maka tidak mengapa untuk diakhirkan pengurusan jenazahnya hingga ada Khalifah sesudahnya.” [Asy Syarhul Mumti' 5/333].

4. Diperbolehkan untuk menyampaikan kepada orang lain tentang berita kematiannya.
Dengan tujuan untuk bersegera mengurusnya, menghadiri janazahnya dan untuk menyalatkan serta mendo’akannya. Akan tetapi, apabila diumumkan untuk menghitung dan menyebut-nyebut kebaikannya, maka ini termasuk na'yu (pemberitaan) yang dilarang.

5. Disunnahkan untuk segera menunaikan wasiatnya, karena untuk menyegerakan pahala bagi mayit.
 Wasiat lebih didahulukan daripada hutang, karena Allah mendahulukannya di dalam Al Qur'an.

6. Diwajibkan untuk segera dilunasi hutang-hutangnya, baik hutang kepada Allah berupa zakat, haji, nadzar, kaffarah dan lainnya. 
 Atau hutang kepada makhluk, seperti mengembalikan amanah, pinjaman atau yang lainnya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
نَفْسُ الْمُؤْمِنِ مُعَلَّقَةٌ بِدَيْنِهِ حَتَّى يُقْضَى عَنْهُ
Jiwa seorang mukmin terikat dengan hutangnya hingga dilunasi.
[HR Ahmad, At Tirmidzi, dan beliau menghasankannya].

Adapun orang yang tidak meninggalkan harta yang cukup untuk melunasi hutangnya, sedangkan dia mati dalam keadaan bertekad untuk melunasi hutang tersebut, maka Allah yang akan melunasinya.

7. Diperbolehkan untuk membuka dan mencium wajah mayit. Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata:
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ عُثْمَانَ بْنَ مَظْعُونٍ وَهُوَ مَيِّتٌ حَتَّى رَأَيْتُ الدُّمُوعَ تَسِيلُ

Aku melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mencium Utsman bin Madh'un Radhiyallahu 'anhu , saat dia telah meninggal, hingga aku melihat Beliau mengalirkan air mata. 
[HR Abu Dawud dan At Tirmidzi].

Demikian pula Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu 'anhu, beliau mencium Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau meninggal dunia.

D. MEMANDIKAN MAYIT


1. Hukum memandikan dan mengkafani mayit adalah fardhu kifayah. Apabila telah dikerjakan oleh sebagian kaum muslimin, maka bagi yang lain gugur kewajibannya. Dengan dalil sabda Nabi  Shallallahu 'alaihi wa sallam  tentang seorang muhrim (orang yang mengerjakan ihram) yang terjatuh dan terlempar dari untanya:
اغْسِلُوهُ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ وَكَفِّنُوهُ فِي ثَوْبَيْهِ
Mandikanlah dia dengan air dan daun bidara, dan kafanilah dengan dua helai kainnya.
[Muttafaqun 'alaih].

2. Orang yang paling berhak memandikan seorang mayit, ialah orang yang diberi wasiat untuk mengerjakan hal ini. Seseorang terkadang berwasiat karena ingin dimandikan oleh orang yang bertaqwa, orang yang mengetahui hukum-hukum memandikan mayit.

Dahulu Abu Bakar Ash Shiddiq Radhiyallahu 'anhu berwasiat supaya dimandikan oleh isterinya, yaitu Asma' binti Umais, kemudian dia (Asma' binti Umais) mengerjakannya. Dikeluarkan oleh Malik dalam Al Muwatha', Abdur Razzaq dan Ibnu Abi Syaibah.

Setelah orang yang diberi wasiat, orang yang paling berhak untuk memandikan ialah bapaknya, kemudian kakeknya, kemudian kerabat dekat dari ashabahnya (kerabat lelaki). Jika mereka semua sama di dalam hak ini, maka diutamakan orang yang paling mengetahui hukum-hukum mengurus jenazah.

olehkan bagi suami atau isteri untuk memandikan pasangannya.
Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau bersabda kepada 'Aisyah Radhiyallahu 'anha:

لَوْ مُتِّ قَبْلِيْ لَغَسَلْتُكِ وَكَفَنْتُكِ
Seandainya engkau mati sebelumku, pasti aku akan memandikan dan mengkafanimu.
 [HR Ahmad, Ibnu Majah, Ad Darimi].

4. Bagi seorang lelaki atau wanita, boleh memandikan anak yang di bawah umur tujuh tahun, baik laki-laki atau perempuan.
 Ibnul Mundzir berkata,”Telah sepakat para ulama yang kami pegang pendapatnya, bahwa seorang wanita boleh memandikan anak kecil laki-laki." Karena tidak ada aurat ketika hidupnya, maka demikian pula setelah matinya. [Lihat Al Mulakhash Al Fiqhi (1/207)].

  1. Seorang muslim tidak boleh memandikan dan menguburkan seorang kafir
  2. Allah berfirman kepada NabiNya Shallallahu 'alaihi wa sallam:
وَلاَ تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلاَ تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوْا بِالله
Janganlah engkau menyalatkan seorang yang mati di antara mereka selama-lamanya, dan janganlah engkau berdiri di atas kuburnya, sesungguhnya mereka kafir kepada Allah.
[At Taubah:84].

Yang dimaksud dengan ayat tersebut, yaitu haram menguburnya seperti mengubur seorang muslim. Akan tetapi kita gali untuknya lubang, kemudian dimasukkan mayat orang kafir ke dalam lubang tersebut, atau ditutup dengan sesuatu. Karena Rasulullah  Shallallahu 'alaihi wa sallam  memerintahkan untuk melempar mayat-mayat kaum musyrikin yang terbunuh dalam Perang Badar ke dalam satu sumur di antara sumur-sumur yang ada di Badar. [HR Al Bukhari di dalam kitab Al Maghazi].

6. Kaifiyat memandikan jenazah.
 Hendaklah dipilih tempat yang tertutup, jauh dari pandangan umum, tidak disaksikan kecuali oleh orang yang memandikan dan orang yang membantunya. Kemudian melepaskan pakaiannya semula dipakainya setelah diletakkan kain di atas auratnya, sehingga tidak terlihat oleh seorangpun. Kemudian dilakukan istinja' terhadap mayit dan dibersihkan kotorannya. Sesudah itu dilakukan wudhu' seperti wudhu' ketika akan shalat. Akan tetapi, Ahlul Ilmi mengatakan, tidak dimasukkan air ke dalam mulut dan hidungnya, namun diambil kain yang dibasahi dengan air, lalu dipakai untuk menggosokkan giginya dan bagian dalam hidungnya, kemudian dibasuh kepala dan seluruh tubuhnya, dimulai dengan bagian kanan.

Hendaknya dicampurkan daun bidara ke dalam air. Daun bidara tersebut dipakai untuk membersihkan rambut kepala dan janggutnya. Pada kali yang terakhir diberi kapur (butir wewangian), karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan demikian kepada para wanita yang memandikan putrinya. Beliau bersabda: "Ambillah kapur pada kali yang terakhir, atau sesuatu dari kapur." Kemudian dikeringkan dan diletakkan di atas kain kafan. [70 Su'alan Fi Ahkamil Janaiz, Syaikh Muhammad Al 'Utsaimin, hlm. 6].

7. Tidak diperbolehkan untuk mendatangi tempat pemandian mayit, kecuali orang yang akan memandikan dan orang yang membantunya.

8. Ketika memandikan mayit, perlu memperhatikan hal-hal berikut ini:
 Yang wajib dalam memandikan mayit adalah sekali. Apabila belum bersih, maka tiga kali dan seterusnya yang diakhiri dengan hitungan ganjil. Dan disunnahkan untuk menyertainya dengan daun bidara atau sesuatu yang membersihkan, seperti sabun atau yang lainnya. Hendaknya pada kali yang terakhir, dicampurkan butir wewangian (kapur). Melepaskan ikatan rambut dan membersihkannya dengan baik, menguraikan dan menyisir rambutnya, mengikat rambut wanita menjadi tiga ikatan dan meletakkan di belakangnya. Memulai memandikan dengan bagian tubuhnya yang kanan, anggota wudhu'nya terlebih dahulu. [Lihat Ahkamul Janaiz, hlm. 48].

9. Apabila tidak ada air untuk memandikan mayit, atau dikhawatirkan akan tersayat-sayat tubuhnya jika dimandikan, atau mayat tersebut seorang wanita di tengah-tengah kaum lelaki, sedangkan tidak ada mahramnya atau sebaliknya, maka mayat tersebut di tayammumi dengan tanah (debu) yang baik, diusap wajah dan kedua tangannya dengan penghalang dari kain atau yang lainnya.


  1. Disunnahkan untuk mandi bagi orang yang telah selesai memandikan mayit.
  2.  Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
Barangsiapa yang memandikan mayit, maka hendaklah dia mandi. Dan barangsiapa yang memikul jenazah, maka hendaklah dia wudhu'.
[HR Ahmad, Abu Dawud dan beliau menghasankannya].

11. Seorang yang mati syahid (terbunuh) di medan perang tidak boleh dimandikan, meskipun dia dalam keadaan junub, bahkan dikubur dengan pakaian yang menempel padanya.

Dalam hadits Jabir Radhiyallahu 'anhu :
أَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِدَفْنِ شُهَدَاءِ أُحُدٍ فِي دِمَائِهِمْ وَلَمْ يُغَسَّلُوْا وَلَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِمْ
Bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk mengubur para syuhada' Uhud dalam (bercak-bercak ) darah mereka, tidak dimandikan dan tidak dishalatkan. 
[HR Al Bukhari].

Hukum ini khusus bagi syahid ma'rakah (orang yang terbunuh di medan perang). Adapun orang yang mati terbunuh karena membela hartanya atau kehormatannya, mereka tetap dimandikan, meskipun mereka juga syahid. Demikian pula orang yang mati karena wabah tha'un, atau karena penyakit perut, mati tenggelam atau terbakar. Meskipun mereka syahid, mereka tetap dimandikan. Lihat Asy Syarhul Mumti' (5/364).

12. Apabila janin yang mati keguguran dan telah berumur lebih dari empat bulan, maka dimandikan dan dishalatkan. Berdasarkan hadits Al Mughirah yang marfu':

وَ الطِّفْلُ (و في رواية: السِّقْطُ) يُصَلَّى عَلَيْهِ وَيُدْعَى لِوَالِدَيْهِ بِالْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ
Seorang anak kecil (dan dalam satu riwayat, janin yang mati keguguran), dia dishalatkan dan dido'akan untuk kedua orang tuanya dengan ampunan dan rahmat. 
[HR Abu Dawud dan At Tirmidzi].

Karena setelah empat bulan sudah ditiupkan padanya ruh, sebagaimana dalam hadits tentang penciptaan manusia yang diriwayatkan Al Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas'ud.

E. MENGKAFANI MAYIT


1. Yang wajib dari kafan adalah yang menutup seluruh tubuhnya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda di dalam hadits Jabir Radhiyallahu 'anhu :
إِذَا كَفَّنَ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ فَلْيُحَسِّنْ كَفَنَهُ
Apabila salah seorang diantara kalian mengkafani saudaranya, maka hendaklah memperbagus kafannya
[HR Muslim].

Ulama berkata: "Yang dimaksud dengan memperbagus kafannya, yaitu yang bersih, tebal, menutupi (tubuh jenazah) dan yang sederhana. Yang dimaksud bukanlah yang mewah, mahal dan yang indah." [Ahkamul Janaiz, 58].

2. Biaya kain kafan diambilkan dari harta mayit, lebih didahulukan daripada untuk membayar hutangnya. Rasulullah  Shallallahu 'alaihi wa sallam  bersabda tentang seorang yang mati dalam keadaan ihram:
....وَكَفِّنُوْهُ فِي ثَوْبَيْهِ
… Kafanilah dia dengan dua bajunya.
[Muttafaqun 'alaih]

Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk dikafani dengan pakaian ihram miliknya sendiri. Demikian pula kisah Mush'ab bin Umair yang terbunuh pada perang Uhud, kemudian dikafani oleh Rasulullah n dengan pakaiannya sendiri.

3. Disunnahkan untuk dikafani dengan tiga helai kain putih.
 Karena Rasulullah dikafani dengan tiga lembar kain putih suhuliyyah, berasal dari negeri di dekat Yaman.

Di beri wewangian dari bukhur (wewangian dari kayu yang dibakar). Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا جَمَّرْتُمُ الْمَيِّتَ فَجَمِّرُوْهُ ثَلاَثًا
Apabila kalian memberi wewangian kepada mayit, maka berikanlah tiga kali
[HR Ahmad].

4. Apabila ada beberapa mayit, sedangkan kain kafannya kurang, maka beberapa orang boleh untuk dikafani dengan satu kafan dan didahulukan orang yang paling banyak hafalan Al Qur'annya, sebagaimana kisah para syuhada Uhud.

5. Kafan seorang wanita sama seperti kafan seorang lelaki.
 Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: "Dalam hal ini telah ada hadits marfu' (kafan seorang wanita adalah lima helai kain, Pen). Akan tetapi, di dalamnya ada seorang rawi yang majhul (tidak dikenal). Oleh karena itu, sebagian ulama berkata: “Seorang wanita dikafani seperti seorang lelaki. Yaitu tiga helai kain, satu kain diikatkan di atas yang lain." Lihat Asy Syarhul Mumti' (5/393) dan Ahkamul Janaiz, 65.

F. SHALAT JENAZAH (MENYALATKAN MAYIT)


1. Hukum shalat jenazah adalah fardhu kifayah berdasarkan keumuman perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menyalati jenazah seorang muslim.
 Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang orang yang bunuh diri dengan anak panah:
صَلُّوْا عَلَى صَاحِبِكُمْ
Shalatkanlah saudara kalian. 
[HR Muslim].

2.Tata cara shalat jenazah.
 a. Imam berdiri sejajar dengan kepala mayit lelaki dan bila mayitnya wanita, imam berdiri di bagian tengahnya. Makmum berdiri di belakang imam. Disunnahkan untuk berdiri tiga shaf (barisan) atau lebih. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ صَلَّى عَلَيْهِ ثَلَاثَةُ صُفُوفٍ فَقَدْ أَوْجَبَ
Barangsiapa yang menyalatkan jenazah dengan tiga shaf, maka sesungguhnya dia diampuni
[HR At Tirmidzi]

b. Kemudian bertakbir yang pertama, membaca Al Fatihah setelah ta'awwudz, tidak membaca do'a iftitah sebelum Al Fatihah. Kemudian takbir yang kedua, membaca shalawat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana dalam tasyahhud. Setelah takbir yang ketiga, membaca do'a untuk mayit. Sebaik-baik do'a adalah sebagai berikut:

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا وَصَغِيرِنَا وَكَبِيرِنَا وَذَكَرِنَا وَأُنْثَانَا
Wahai, Allah! Ampunilah orang yang hidup di antara kami dan orang yang mati, yang hadir dan yang tidak hadir, (juga) anak kecil dan orang dewasa, lelaki dan wanita kami. 
[HR At Tirmidzi]

Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau menambahkan:

اللَّهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلَى الْإِيْمَانِ وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِنَّا فَتَوَفَّهُ عَلَى الْإِسْلَامِ اللَّهُمَّ لَا تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلَا تَفْتِنَّا بَعْدَهُ
Wahai, Allah! Orang yang Engkau hidupkan di antara kami, maka hidupkanlah dia di atas keimanan. Dan orang yang Engkau wafatkan di antara kami, maka wafatkanlah ia di atas keimanan. Wahai, Allah! Janganlah Engkau halangi kami dari pahalanya, dan janganlah Engkau sesatkan kami sesudahnya.
[HR Abu Dawud].

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ الْأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ عَذَابِ النَّارِ
Wahai, Allah! Berilah ampunan baginya dan rahmatilah dia. Selamatkanlah dan maafkanlah ia. Berilah kehormatan untuknya, luaskanlah tempat masuknya, mandikanlah ia dengan air, es dan salju. Bersihkanlah dia dari kesalahan sebagaimana Engkau bersihkan baju yang putih dari kotoran. Gantikanlah baginya rumah yang lebih baik dari rumahnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya semula, isteri yang lebih baik dari isterinya semula. Masukkanlah ia ke dalam surga, lindungilah dari adzab kubur dan adzab neraka
[HR Muslim dari 'Auf bin Malik]

Apabila mayitnya seorang wanita, maka diganti dengan dhamir muannats

(اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهَا وَارْحَمْهَا ....)

c. Kemudian takbir yang keempat dan berhenti sejenak. Kemudian salam ke arah kanan sekali salam
Syaikh Ibnu Utsaimin menegaskan: "Pendapat yang benar, ialah tidak masalah (jika) salam dua kali, karena hal ini telah tertera di sebagian hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam." [Lihat Asy Syarhul Mumti' (5/424)]

Di antara dalil yang menunjukkan salam dua kali dalam shalat jenazah, yaitu hadits Ibnu Mas'ud.
ثَلاَثُ خِلاَلٍ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُنَّ تَرَكَهُنَّ النَّاُس,إِحْدَاهُنَّ التَّسْلِيْمُ عَلَى الْجَنَازَةِ مِثْلُ التَّسْلِيْمِ فِي الصَّلاَةِ

(Ada) tiga kebiasaan (yang pernah) dikerjakan Rasulullah n , namun kebanyakan orang meninggalkannya. Salah satunya, (yaitu) salam dalam shalat jenazah seperti salam di dalam shalat.” (HR Al Baihaqi).
 Maksudnya, dua kali salam seperti yang telah kita ketahui.

Syaikh Al Albani menyatakan, diperbolehkan hanya dengan satu kali salam yang pertama saja, karena hadits Abu Hurairah:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّىعَلَىالْجَنَازَةِ فَكَبَّرَ عَلَيْهَا أَرْبَعًا وَسَلَّمَ تَسْلِيْمَةً وَاحِدَةً
Sesungguhnya Rasulullah  Shallallahu 'alaihi wa sallam  dahulu shalat jenazah; Beliau bertakbir empat kali dan salam satu kali.
 (HR Ad Daraquthni dan Al Hakim). 
Al Baihaqi meriwayatkan dari jalan Abul 'Anbas dari bapaknya dari Abu Hurairah.(Ahkamul Janaiz, 128).
Dan disunnahkan untuk sirri (pelan) saat mengucapkan salam pada shalat jenazah.

d.Disunnahkan mengangkat tangan pada setiap kali takbir.
 Terdapat hadits yang shahih dari Ibnu Umar secara mauquf, bahwasanya beliau  mengerjakannya. Hadits ini memiliki hukum marfu', karena hal seperti ini tidak mungkin dikerjakan oleh seorang sahabat dengan hasil ijtihadnya.
 Ibnu Hajar berkata: "Terdapat riwayat shahih dari Ibnu Abbas, bahwasanya beliau mengangkat tangannya pada seluruh takbir jenazah." [Diriwayatkan oleh Sa'id, di dalam At Talkhishul Habir (2/147)].

TATA CARA SHOLAT JENAZAH BESERTA DOA-DOANYA.

3792395943_72345e802a.jpg (500×333)

Berawal dari pertanyaan seorang teman yang baru melayat jenazah, ternyata dia kebingungan tentang bacaan di raka’at takbir ke-3 dan ke-4 dari sholat jenazah ini. Demikian saya tuliskan tatacara sholat jenazah. Semoga bermanfaat.
Shalat Jenazah merupakan shalat yang tidak perlu ruku’ dan sujud. Yang kita lakukan hanyalah berdiri, takbir sebanyak empat kali dengan diselingi bacaan dan doa tertentu lalu salam.
Rukun Shalat Jenazah :
Shalat jenazah itu terdiri dari 8 rukun.
1. Niat
Shalat jenazah sebagaimana shalat dan ibadah lainnya tidak dianggap sah kalau tidak diniatkan. Dan niatnya adalah untuk melakukan ibadah kepada Allah SWT.
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam agama yang lurus , dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”.
(QS. Al-Bayyinah : 5).
Rasulullah SAW pun telah bersabda dalam haditsnya yang masyhur :
Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung niatnya. Setiap orang mendapatkan sesuai niatnya.”
(HR. Muttafaqun Alaihi).
Niat itu adanya di dalam hati dan intinya adalah tekad serta menyengaja di dalam hati bahwa kita akan melakukan shalat tertentu saat ini.
2. Berdiri Bila Mampu
Shalat jenazah TIDAK SAH bila dilakukan sambil duduk atau di atas kendaraan (hewan tunggangan) selama seseorang mampu untuk berdiri dan tidak ada uzurnya.
3. Takbir 4 kali
Aturan ini didapat dari hadits Jabir yang menceritakan bagaimana bentuk shalat Nabi ketika menyolatkan jenazah. Dari Jabi ra bahwa Rasulullah SAW menyolatkan jenazah Raja Najasyi (shalat ghaib) dan beliau takbir 4 kali. (HR. Bukhari : 1245, Muslim 952 dan Ahmad 3:355)
Najasyi dikabarkan masuk Islam setelah sebelumnya seorang pemeluk nasrani yang taat. Namun begitu mendengar berita kerasulan Muhammad SAW, beliau akhirnya menyatakan diri masuk Islam.
4. Membaca Surat Al-Fatihah
5. Membaca Shalawat kepada Rasulullah SAW
6. Doa Untuk Jenazah
Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW : Bila kalian menyalati jenazah, maka murnikanlah doa untuknya. (HR. Abu Daud : 3199 dan Ibnu Majah : 1947).
Diantara lafaznya yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW antara lain :
Allahummaghfir lahu warhamhu, wa’aafihi wa’fu ‘anhu, wa akrim nuzulahu, wa wassi’ madkhalahu, waghsilhu bil-ma’i watstsalji wal-baradi.
Ada juga artikel lain yg menuliskan:
Allahummaghfir lahu warhamhu, wa’aafihi wa’fu ‘anhu.
7. Doa Setelah Takbir Keempat
Misalnya doa yang berbunyi :
Allahumma Laa Tahrimna Ajrahu wa laa taftinnaa ba’dahu waghfirlana wa lahu
8. Salam
********
Jadi secara urutannya adalah sebagai berikut :
1. Takbiratul Ihram seperti biasa *Membaca Al-Fatihah
2. Takbir ** Membaca Shalawat kepada Nabi SAW : Allahumma Shalli
‘Alaa Muhammad,,,,
3. Takbir *** Membaca Doa : Allahummaghfir lahu war-hamhu . . .
4. Takbir **** Membaca Doa : Allahumma Laa Tahrimnaa Ajrahu
5. Mengucap Salam ; “Assalamu’aliakum warahmatullohi wabarokaatuhu,,”
********
Disukai (mustahab) membentuk 3 shof di belakang imam berdasarkan hadits:
Abu Umamah r.a. berkata: “Suatu ketika Rasulullah saw. menshalati jenazah dan bersamanya 7 orang makmum seraya menjadikan shaf pertama 3 orang, kemudian 2 orang dan dibelakangnya lagi 2 orang
(H.R. Thabarani)
dan hadits :
Malik bin Hurairah r.a. berkata, “Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah seorang muslim meninggal kemudian dishalati oleh 3 shaf orang islam kecuali wajiblah atasnya.” (dalam riwayat lain “Kecuali pastilah diampuni dosa-dosanya”)
Doa dalam sholat jenazah.
********
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ اْلأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلاً خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ، وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ، وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ [وَعَذَابِ النَّارِ]
[Alloohummaghfir lahu Warhamhu Wa ‘Aafihi Wa’fu ‘ahu, Wa Akrim Nuzulahu, Wa Wassi’ Madkholahu, Waghsilhu Bil Maa’i WatsTsalji Wal Barodi, Wa Naqqihi Minal Khothooyaa Kamaa Naqqaitats Tsaubal Abyadho Minad Danasi, Wa Abdilhu Daaron Khoiron Min Daarihi, Wa Ahlan Khoiron Min Ahlihi, Wa Zaujan Khoiron Min Zaijihi, Wa Adkhilhul Jannata, Wa A’idhu Min ‘Adzaabil Qabri]
Ya Allah, Ampunilah dia (dari beberapa hal yang tidak disukai), maafkanlah dia dan tempat-kanlah di tempat yang mulia (Surga), luaskan kuburannya, mandikan dia dengan air salju dan air es. Bersihkan dia dari segala kesalahan, sebagaimana Engkau membersihkan baju yang putih dari kotoran, berilah rumah yang lebih baik dari rumahnya (di dunia), berilah keluarga (atau istri di Surga) yang lebih baik daripada keluarganya (di dunia), istri (atau suami) yang lebih baik daripada istrinya (atau suaminya), dan masukkan dia ke Surga, jagalah dia dari siksa kubur dan Neraka.” (HR. Muslim 2/663)
اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا وَصَغِيْرِنَا وَكَبِيْرِنَا وَذَكَرِنَا وَأُنْثَانَا. اَللَّهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلَى اْلإِسْلاَمِ، وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِنَّا فَتَوَفَّهُ عَلَى اْلإِيْمَانِ، اَللَّهُمَّ لاَ تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلاَ تُضِلَّنَا بَعْدَهُ.
[Alloohumaghfir Lihayyinaa Wa Mayyitinaa Wa Syaahidinaa Wa Ghoo’ibinaa Wa Shoghiirinaa Wa Kabiirinaa Wa Dzakarinaa Wa Untsaanaa. Alloohumma Man Ahyaitahu Minnaa Fa Ahyihi ‘Alal Islaam, Wa Man Tawaffaitahu Minnaa Fatawaffahu ‘Alal Iimaan. Alloohumma Laa Tahrimna Ajrahu Wa Laa Tudhillanaa Ba’dahu]
“Ya Allah! Ampunilah kepada orang yang hidup di antara kami dan yang mati, orang yang hadir di antara kami dan yang tidak hadir ,laki-laki maupun perempuan. Ya Allah! Orang yang Engkau hidupkan di antara kami, hidupkan dengan memegang ajaran Islam, dan orang yang Engkau matikan di antara kami, maka matikan dengan memegang keimanan. Ya Allah! Jangan menghalangi kami untuk tidak memper-oleh pahalanya dan jangan sesatkan kami sepeninggalnya.” ( HR. Ibnu Majah 1/480, Ahmad 2/368, dan lihat Shahih Ibnu Majah 1/251)
اَللَّهُمَّ إِنَّ فُلاَنَ بْنَ فُلاَنٍ فِيْ ذِمَّتِكَ، وَحَبْلِ جِوَارِكَ، فَقِهِ مِنْ فِتْنَةِ الْقَبْرِ وَعَذَابِ النَّارِ، وَأَنْتَ أَهْلُ الْوَفَاءِ وَالْحَقِّ. فَاغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.
[Alloohumma Inna Fulaanabna Fulaanin Fii Dzimmatika, Wa Habli Jiwaarika, Fa Qihi Min Fitnatil Qobri Wa ‘Adzaabin Naari, Wa Anta Ahlal Wafaa’i Wal Haqqi. Faghfirlahu Warhamhu, Innaka Antal Ghofuurur Rohiim]
“Ya, Allah! Sesungguhnya Fulan bin Fulan dalam tanggunganMu dan tali perlindunganMu. Peliharalah dia dari fitnah kubur dan siksa Neraka. Engkau adalah Maha Setia dan Maha Benar. Ampunilah dan belas kasihanilah dia. Sesungguhnya Engkau, Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Penyayang.” (HR. Ibnu Majah. Lihat Shahih Ibnu Majah 1/251 dan Abu Dawud 3/21)
اَللَّهُمَّ عَبْدُكَ وَابْنُ أَمْتِكَ احْتَاجَ إِلَى رَحْمَتِكَ، وَأَنْتَ غَنِيٌّ عَنْ عَذَابِهِ، إِنْ كَانَ مُحْسِنًا فَزِدْ فِيْ حَسَنَاتِهِ، وَإِنْ كَانَ مُسِيْئًا فَتَجَاوَزْ عَنْهُ.
[Alloohumma ‘Abduka Wabnu Amatikahtaaja Ilaa Rohmatika, Wa Anta Ghoniyyun ‘An ‘Adzaabihi, In Kaana Muhsinan, Fa Zid Fii Hasanaatihi, Wa In Kaana Musii’an Fa Tajaawaz ‘Anhu]
Ya, Allah, ini hambaMu, anak ham-baMu perempuan (Hawa), membutuh-kan rahmatMu, sedang Engkau tidak membutuhkan untuk menyiksanya, jika ia berbuat baik tambahkanlah dalam amalan baiknya, dan jika dia orang yang salah, lewatkanlah dari kesalahan-nya. (HR. Al-Hakim. Menurut pendapatnya: Hadits ter-sebut adalah shahih. Adz-Dzahabi menyetujuinya 1/359, dan lihat Ahkamul Jana’iz oleh Al-Albani, halaman 125)

Link sumber Ini Jangan Dihapus Atau Anda Saya Laporkan BY www.duniaonlineindonesia.blogspot.com